Kepada embun : sebagai tepian daun,
Tak ada yang bisa kuperbuat
Selain menjaga dan memperhatikanmu.
Jika kau ingin jatuh, jatuhlah perlahan.
“Kau tahu aku
mencintaimu. Karena itu aku mengikhlaskanmu.” Aku terdiam, ternganga tak
percaya, mulut ku sendiri yang berucap begitu. sejenak aku rasakan beku di
kakiku. Ku lepaskan rengkuhanku darinya. Aku ingin melangkah namun sulit. Lalu ia
melangkah mundur, menjauh dari hadapanku membalikan badan lalu berjalan.
“menoleh…please menolehlah…menoleh
rar…please abraaaaarrrrrrrr menoleh.” Hati ini bergumam memintanya untuk
menoleh. Namun apa? Sudahlah semua salahku.
Saat aku membalikkan
badan dan hendak berlari, tiba-tiba genggaman tangan menahanku. Memegang erat
tanganku, membalikkan badan kecilku hingga aku tepat berada dihadapannya.
Menghapus air mata dipipiku dan berkata “aku takan pernah menjauh darimu
begitupun sebaliknya, karena aku setitik embun dan kamu tepian daun”
***
Aku ingat, aku begitu
hangat waktu itu. Entah karena demam atau hanya sedang cemburu. Mungkin juga
patah hati. Aku juga tak tahu mengapa aku layak untuk patah hati. Padahal aku
dan embun tak pernah menjalin janji. Hubungan kami pun sebatas dua benda yang
saling memberi kabar dari jauh. Kami sering berbicara, membicarakan semua hal
yang menurut kami aneh tak masuk akal. Namun, kami bisa tertawa dengan lepas.
Bercerita tentang hidup dan kisah kehidupanku sampai saat ini, meski tak semua
aku ceritakan padanya. Aku juga sering bercerita mengenai sesuatu yang aku
harapkan tentang ranting kecil yang berharap sepucuk bunga tumbuh di ujung
hidupnya untuk balasan sebuah penantian panjang akan kehadiran sang buah manis.
Namun, dia, embun tak
pernah cerita apa-apa tentangnya. Ia hanya berkata, ia embun dan ia dilahirkan
untuk memberi kesejukan. Hanya hal itu yang aku tahu. Dan itu membuatku jatuh
cinta pada embun. Dan orang yang sedang jatuh cinta adalah peneliti yang sangat
mahir, bukan?
Maka pada saat itu aku tahu aku
jatuh hati pada embun yang dilahirkan untuk menyejukkan, aku mencari tahu
tentangnya. Keluarganya, temannya, sahabatnya, kerabat-kerabatnya, musuhnya,
kesukaannya, kegiatan yang menghabiskan waktunya, tentang sekolahnya, dan
seterusnya. Namun aku tidak menemukan apa-apa. Sepertinya aku bukan peneliti
yang handal.
“apa yang kamu lakukan? Kamu mencari
tahu tentangku?”
Dekkkkk!!! Kepalaku
menongak ke arah orang yang sedang
berdiri tepat di depanku. Mata sipit ku melebar membulat dengan mulut gemetar
entah kata apa yang akan aku ucapkan sebagai jawaban. “Ya tuhannnnnn…apa yang
harus aku katakan dia bukanlah makhluk yang bisa membaca pikiran orang. Tapi
mungkin dia bisa membaca pergerakkanku”. Karenanya aku hanya terdiam. Namun
diamku malah memberi jawaban untuknya. Dia tertawa melihat tingkahku.
Aku adalah embun yang dilahirkan untuk menyejukkan.
***
Lalu aku mulai curiga.
Kau tau apa yang ada
dipikiranku? Saat pagi berganti siang, siang menjadi sore, sore berubah petang,
petang menjelma malam dan embunpun menghilang begitu saja. Kemana ia pergi?
Lantas siapa dia? Dia sangat berbeda dengan embun yang dingin, dia begitu
terang dan aku yakin bahwa sebenarnya dia hangat.
Dan ini membuatku penasaran
setengah mati.
Sejak itu aku mengenal bulan, dia
memang mirip dengan temanku matahari namun dia berbeda. Sinarnya tak seterang
matahari. Tapi setiap orang tahu bahwa bulan itu indah. Setiap malam aku
bersamanya mencoba untuk lebih dekat dengannya. Namun aku hanya menunggunya
malam hari, menunggu lembut sinarnya yang merayap di sekujur tubuhku. Ia tak
pernah gagal membuatku merasa nyaman dan hadir untuk menjadi teman. Oh ya,
hanya teman. Begitu akhirnya ia berkata padaku.
“aku hanya menganggapmu sebagai
teman” salah jika kamu berpikir seperti itu “maaf aku tidak pernah memberi
tahumu selama ini, aku mencintai embun” semua ini membuat ku sedikit terhibur
meski jujur sebenarnya namamu pernah aku sebut di dalam hatiku. Esaaaaa.
Sejak itu, cahayanya,
cahanya yang sempat membuatku jatuh cinta, tidak lagi terasa sama. Tidak pernah
terasa sama.
Kemudian pada suatu pagi yang lain,
saat aku tidak lagi menunggu bulan dan berharap tidak pernah lagi ada malam,
kau hadir. Kau datang ketika aku begitu hangat. Entah karena demam atau hanya
sedang cemburu atau bahkan patah hati. Kau yang dingin membuatku sejuk.
Membuatku berhenti merajuk. Membuatku merasa beruntung menjadi tepian daun yang
bisa merasakan tenang suaramu menyebut namaku, veylaaaaaaaa…….
***
Malam ini bulan datang terlambat,
mungkin seharian tadi dia bermain dengan teman-temannya memainkan gitar,
bernyanyi dan bergoyang seirama seasik mereka.
“atau menghabiskan
waktu bersama seseorang yang special untuknya.” Kalimat itu keluar dari mulut
embun yang lagi lagi dia bisa menebak apa yang ada dipikiranku. Sial dia benar
benar membuatku kikuk. Membuatku merasa tak berkutik, aku tak menganggap
penting celetukannya. Dengan pura-pura tak mendengarnya aku rasa semua ini
masih aman.
“aku tidak sembarang
menebak, karena sebenarnya hal tersebut sudah menjadi rahasia umum. Kamu tahu
kan, bahwa yang berada di langit hanya mencintai yang di langit pula?”
Aku pikir dia sudah
menghentikan pembicaraannya namun dia malah meneruskan dengan perkataan yang
semakin membuatku berpikir. Setelah ia mengucapkan itu, aku mendesah lesu dan
mengomeli diriku sendiri. Sudah ku bilang, seharusnya aku sadar bahwa aku tidak
pernah sekalipun menjadi hal yang menarik baginya. Aku hanya mengaguminya dari
sisi permukaan bumi dan perasaan ku muncul hanya di satu sisi. Di sisiku.
“aku tidak tahu apa
arti semuanya, tapi aku dapat merasakannya. Merasakan cinta bertepuk sebelah
tangan. Aku tahu kau sangat mengerti, itu sebabnya kau menganggukan kepalamu.
Membuat tubuhku terguncang, lemas, kaku”
Aku tak mengerti apa
yang embun katakan. Dia tak pernah bisa berbicara specific denganku. Dia selalu
membuatku berputar menjelajahi dunia ke india-afrika-amerika utara-bahkan
menyebrangi samudera atlantik lalu pulang ke Indonesia.
Hampir saja dia
terjatuh, sebelum akhirnya aku dengan sigap meraih dan merengkuhnya.
“rengkuhan pertamamu
itu, rengkuhan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Dan terus terang aku
menikmatinya, aku mencintaimu”
Aku kaget mendengar
perkataannya, tidak mungkin disaat seperti ini dia membuat lelucon padaku.
namun, aku kesal padanya. dia pergi begitu saja menghilang seketika, tanpa
kabar, tanpa pamit, tanpa sepatah katapun.
“kamu tahu kenapa aku
pergi?” tanyanya dengan suara lesunya.
“ntahlah, aku tak
tahu karena kamu tak pernah memberiku alasan mengapa kamu pergi.”
“aku pergi karena
kamu bertemu bulan, menyimpan rasa untuknya. Dan ketika itu aku sangat hangat.
Entah karena demam atau hanya cemburu atau bahkan patah hati. Namun kini aku
yakin bahwa aku mencintaimu la.”
Tapi pagi itu embun
bilang bahwa embun tidak sempat jatuh cinta. Mengapa?
“Kau bertanya mengapa
dan aku tak butuh waktu lama untuk menjawabnya. Karena aku hanya sementara. “
Aku menolak ucapannya
dan aku merengkuhnya sangat erat.
“percuma, aku hanya
setitik embun dan menemanimu sebentar saja, setelah itu aku akan menguap atau
jatuh ke tanah lalu mati. Kau bisa mencintai embun yang lain . kau tahu? Jika
saja aku punya keberanian untuk mengucapkan hal itu, aku akan berkata kepadamu aku pun mau.”
Aku berteriak
sekencang kencangnya. Ini terlalu sakit untukku. Mengapa dia berbica seperti
itu? Mengapa dia tak berusaha untuk tetap disini bersamaku. musim hujan akan
tiba mengapa ia harus pergi. Aku merengkuhnya semakin kuat seakan akan aku
sangat takut kehilangannya.
Kepada daun: sebagai setitik embun,
Tak ada yang bisa kuperbuat
Selain sejuk tubuh rapuhku.
Aku akan segera mati, cintailah embun yang lain.
Embun, Setitik Embun, Tepian daun, cerpen cinta, kisah cintta