Kamis, 16 Oktober 2014

Tepian daun dan setitik embun
Akbar Fakhrurroji13.04.00 0 Respon


Kepada embun : sebagai tepian daun,
Tak ada yang bisa kuperbuat
Selain menjaga dan memperhatikanmu.
Jika kau ingin jatuh, jatuhlah perlahan.

“Kau tahu aku mencintaimu. Karena itu aku mengikhlaskanmu.” Aku terdiam, ternganga tak percaya, mulut ku sendiri yang berucap begitu. sejenak aku rasakan beku di kakiku. Ku lepaskan rengkuhanku darinya. Aku ingin melangkah namun sulit. Lalu ia melangkah mundur, menjauh dari hadapanku membalikan badan lalu berjalan.
“menoleh…please menolehlah…menoleh rar…please abraaaaarrrrrrrr menoleh.” Hati ini bergumam memintanya untuk menoleh. Namun apa? Sudahlah semua salahku.
Saat aku membalikkan badan dan hendak berlari, tiba-tiba genggaman tangan menahanku. Memegang erat tanganku, membalikkan badan kecilku hingga aku tepat berada dihadapannya. Menghapus air mata dipipiku dan berkata “aku takan pernah menjauh darimu begitupun sebaliknya, karena aku setitik embun dan kamu tepian daun”
***
Aku ingat, aku begitu hangat waktu itu. Entah karena demam atau hanya sedang cemburu. Mungkin juga patah hati. Aku juga tak tahu mengapa aku layak untuk patah hati. Padahal aku dan embun tak pernah menjalin janji. Hubungan kami pun sebatas dua benda yang saling memberi kabar dari jauh. Kami sering berbicara, membicarakan semua hal yang menurut kami aneh tak masuk akal. Namun, kami bisa tertawa dengan lepas. Bercerita tentang hidup dan kisah kehidupanku sampai saat ini, meski tak semua aku ceritakan padanya. Aku juga sering bercerita mengenai sesuatu yang aku harapkan tentang ranting kecil yang berharap sepucuk bunga tumbuh di ujung hidupnya untuk balasan sebuah penantian panjang  akan kehadiran sang buah manis.
Namun, dia, embun tak pernah cerita apa-apa tentangnya. Ia hanya berkata, ia embun dan ia dilahirkan untuk memberi kesejukan. Hanya hal itu yang aku tahu. Dan itu membuatku jatuh cinta pada embun. Dan orang yang sedang jatuh cinta adalah peneliti yang sangat mahir, bukan?
            Maka pada saat itu aku tahu aku jatuh hati pada embun yang dilahirkan untuk menyejukkan, aku mencari tahu tentangnya. Keluarganya, temannya, sahabatnya, kerabat-kerabatnya, musuhnya, kesukaannya, kegiatan yang menghabiskan waktunya, tentang sekolahnya, dan seterusnya. Namun aku tidak menemukan apa-apa. Sepertinya aku bukan peneliti yang handal.
            “apa yang kamu lakukan? Kamu mencari tahu tentangku?”
Dekkkkk!!! Kepalaku menongak ke arah orang  yang sedang berdiri tepat di depanku. Mata sipit ku melebar membulat dengan mulut gemetar entah kata apa yang akan aku ucapkan sebagai jawaban. “Ya tuhannnnnn…apa yang harus aku katakan dia bukanlah makhluk yang bisa membaca pikiran orang. Tapi mungkin dia bisa membaca pergerakkanku”. Karenanya aku hanya terdiam. Namun diamku malah memberi jawaban untuknya. Dia tertawa melihat tingkahku.
Aku adalah embun yang dilahirkan untuk menyejukkan.        
***
            Lalu aku mulai curiga.
Kau tau apa yang ada dipikiranku? Saat pagi berganti siang, siang menjadi sore, sore berubah petang, petang menjelma malam dan embunpun menghilang begitu saja. Kemana ia pergi? Lantas siapa dia? Dia sangat berbeda dengan embun yang dingin, dia begitu terang dan aku yakin bahwa sebenarnya dia hangat.
Dan ini membuatku penasaran setengah mati.
            Sejak itu aku mengenal bulan, dia memang mirip dengan temanku matahari namun dia berbeda. Sinarnya tak seterang matahari. Tapi setiap orang tahu bahwa bulan itu indah. Setiap malam aku bersamanya mencoba untuk lebih dekat dengannya. Namun aku hanya menunggunya malam hari, menunggu lembut sinarnya yang merayap di sekujur tubuhku. Ia tak pernah gagal membuatku merasa nyaman dan hadir untuk menjadi teman. Oh ya, hanya teman. Begitu akhirnya ia berkata padaku.
            “aku hanya menganggapmu sebagai teman” salah jika kamu berpikir seperti itu “maaf aku tidak pernah memberi tahumu selama ini, aku mencintai embun” semua ini membuat ku sedikit terhibur meski jujur sebenarnya namamu pernah aku sebut di dalam hatiku. Esaaaaa.
Sejak itu, cahayanya, cahanya yang sempat membuatku jatuh cinta, tidak lagi terasa sama. Tidak pernah terasa sama.
            Kemudian pada suatu pagi yang lain, saat aku tidak lagi menunggu bulan dan berharap tidak pernah lagi ada malam, kau hadir. Kau datang ketika aku begitu hangat. Entah karena demam atau hanya sedang cemburu atau bahkan patah hati. Kau yang dingin membuatku sejuk. Membuatku berhenti merajuk. Membuatku merasa beruntung menjadi tepian daun yang bisa merasakan tenang suaramu menyebut namaku, veylaaaaaaaa…….
***
            Malam ini bulan datang terlambat, mungkin seharian tadi dia bermain dengan teman-temannya memainkan gitar, bernyanyi dan bergoyang seirama seasik mereka.
“atau menghabiskan waktu bersama seseorang yang special untuknya.” Kalimat itu keluar dari mulut embun yang lagi lagi dia bisa menebak apa yang ada dipikiranku. Sial dia benar benar membuatku kikuk. Membuatku merasa tak berkutik, aku tak menganggap penting celetukannya. Dengan pura-pura tak mendengarnya aku rasa semua ini masih aman.
“aku tidak sembarang menebak, karena sebenarnya hal tersebut sudah menjadi rahasia umum. Kamu tahu kan, bahwa yang berada di langit hanya mencintai yang di langit pula?”
Aku pikir dia sudah menghentikan pembicaraannya namun dia malah meneruskan dengan perkataan yang semakin membuatku berpikir. Setelah ia mengucapkan itu, aku mendesah lesu dan mengomeli diriku sendiri. Sudah ku bilang, seharusnya aku sadar bahwa aku tidak pernah sekalipun menjadi hal yang menarik baginya. Aku hanya mengaguminya dari sisi permukaan bumi dan perasaan ku muncul hanya di satu sisi. Di sisiku.
“aku tidak tahu apa arti semuanya, tapi aku dapat merasakannya. Merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. Aku tahu kau sangat mengerti, itu sebabnya kau menganggukan kepalamu. Membuat tubuhku terguncang, lemas, kaku”
Aku tak mengerti apa yang embun katakan. Dia tak pernah bisa berbicara specific denganku. Dia selalu membuatku berputar menjelajahi dunia ke india-afrika-amerika utara-bahkan menyebrangi samudera atlantik lalu pulang ke Indonesia.
Hampir saja dia terjatuh, sebelum akhirnya aku dengan sigap meraih dan merengkuhnya.
“rengkuhan pertamamu itu, rengkuhan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Dan terus terang aku menikmatinya, aku mencintaimu”
Aku kaget mendengar perkataannya, tidak mungkin disaat seperti ini dia membuat lelucon padaku. namun, aku kesal padanya. dia pergi begitu saja menghilang seketika, tanpa kabar, tanpa pamit, tanpa sepatah katapun.
“kamu tahu kenapa aku pergi?” tanyanya dengan suara lesunya.
“ntahlah, aku tak tahu karena kamu tak pernah memberiku alasan mengapa kamu pergi.”
“aku pergi karena kamu bertemu bulan, menyimpan rasa untuknya. Dan ketika itu aku sangat hangat. Entah karena demam atau hanya cemburu atau bahkan patah hati. Namun kini aku yakin bahwa aku mencintaimu la.”
Tapi pagi itu embun bilang bahwa embun tidak sempat jatuh cinta. Mengapa?
“Kau bertanya mengapa dan aku tak butuh waktu lama untuk menjawabnya. Karena aku hanya sementara. “
Aku menolak ucapannya dan aku merengkuhnya sangat erat.
“percuma, aku hanya setitik embun dan menemanimu sebentar saja, setelah itu aku akan menguap atau jatuh ke tanah lalu mati. Kau bisa mencintai embun yang lain . kau tahu? Jika saja aku punya keberanian untuk mengucapkan hal itu, aku akan berkata kepadamu aku pun mau.”
Aku berteriak sekencang kencangnya. Ini terlalu sakit untukku. Mengapa dia berbica seperti itu? Mengapa dia tak berusaha untuk tetap disini bersamaku. musim hujan akan tiba mengapa ia harus pergi. Aku merengkuhnya semakin kuat seakan akan aku sangat takut kehilangannya.

Kepada daun: sebagai setitik embun,
Tak ada yang bisa kuperbuat
Selain sejuk tubuh rapuhku.
Aku akan segera mati, cintailah embun yang lain.




Embun, Setitik Embun, Tepian daun, cerpen cinta, kisah cintta
Comments
0 Comments

0 Respon

Posting Komentar